Imamah Dalam Bingkai Syi’ah dan Ahlus Sunnah


A. Pendahuluan

Perihal kepemimpinan dalam Islam merupakan satu bagian pemikiran yang memerlukan pembahasan yang panjang terkait wilayah teoritis serta pengaplikasiannya dalam menjalankan kehidupan beragama dan bermasyarakat secara luas bagi kaum muslimin sendiri dan serta terhadap interaksinya dalam turut serta berkehidupan sosial secara lebih inklusif terhadap jajaran komunitas di luar Islam sendiri. Pada semasa hidupnya, Rasulullah saw. telah menjalankan fungsinya sebagai pemimpin bagi umat Islam dalam beragam aspek. Piagam madinah merupakan satu dari sekian petunjuk jelas pengakuan berbagai komunitas terhadap legitimasi Rasulullah dalam hal kepemimpinan kala itu. Selanjutnya sepeninggal Rasulullah saw. maka pada ketika itu juga mulai bergulirlah persoalan-persoalan terkait siapakah sosok yang selayaknya meneruskan kepemimpinan beliau yang tentunya dikecualikan dalam hal ini adalah meneruskan kenabiannya dikarenakan Rasulullah adalah sebagai Nabi dan Rasul pemungkas. Pada ketika sesudah Rasul wafat, mulanya estafet kepemimpinan Islam bergulir pada para Khulafaur Rasyidin yang terdiri dari empat sahabat dekat Rasul; dan demikian juga estafet kepemimpinan berlanjut pada khalifah-khalifah sesudahnya. Perjalanan kepemimpinan pada era sesudah wafatnya Rasul merupakan sejarah yang penuh pergolakan sehingga disana sering dijumpai peristiwa pergolakan pertentangan yang tidak jarang berujung pada pembunuhan sebagaimana kita ketahui terbunuhnya beberapa penerus Rasulullah terkait kepemimpinan ini. Dalam makalah ini akan dikupas beberapa hal terkait imamah yang menjadi perdebatan dua aliran theologi antara Sunni dan Syi’ah dengan mengetengahkan dasar pijak pendapat serta argumentasi dari kalangan masing-masing.

B. Imamah dalam Bingkai Syi’ah

Imamah pada perkembangan pengertianya merupakan pengidentitasan yang khas ada dalam ajaran aqidah Syi’ah. Imamah telah menjadi trade mark dari syi’ah sendiri karena aqidah ini telah dimasukkan dan dijadikan sebagai salah satu rukun dalam keimanan mereka. a. Makna imamah Dalam penelusuran terhadap makna imamah, terhadapnya dapat ditemui arti kepemimpinan, yang secara makna generalnya dapat difungsikan untuk penyebutan pada pemimpin yang baik maupun yang buruk. Secara etimologis imamah merupakan bentuk mashdar dari imam (yang diikuti) yang sama juga memiliki makna pemimpin. Dalam pemahaman internal Syi’ah (imamiyah itsna ‘asyariah) imamah merupakan ajaran primer dalam teologi dan ideology mereka, serta berposisi sebagai doktrin sentral yang mutlak diyakini penganutnya. b. Esensi Imamah bagi Syi’ah Bagi kalangan Syi’ah, baik Zaidiyah , Imamiyyah, maupun isma’iliyyah , imamah merupakan fondasi dalam ajaran mereka. Imamah menduduki urutan ke tiga dari rukun iman kaum syi’ah imamiyah itsna asyariah. Lebih jauh lagi doktrin ajaran inilah bagian paling mendasar bagi mereka, seakan melebihi doktrin tauhid. Pembicaraan mengenai imamah merupakan bagian bahan perdebatan yg terkesan sengit dan seolah tidak menemukan titik kesudahan antara syi’ah dengan kelompok Islam lainnya. Sebagaimana pernyataan yang diutarakan oleh Muhammad Husein Ali Kasyif al-Ghita’, bahwa Iman kepada imamah (kepemimpinan Ali dan sebelas anak keturunannya) merupakan dasar utama syi’ah Imamiyah, dan dasar inilah yang memberikan nilai berbeda dari faham Islam yang lain, terlebih lagi khususnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariah memegangi secara kuat sebuah keyakinan bahwa imamah sepeninggal Rasulullah saw. sudah semestinya harus jatuh ke tangan sahabat Ali bin Abi Thalib dan kemudian seterusnya secara estafet diwariskan kepada anak cucunya sampai berujung pada imam ke dua belas, yaitu Muhammad bin Hasan al-‘Asykari, yang lebih dikenal dengan sebutan al-Mahdi. Dalam pandangan keyakinan mereka, Rasulullah saw. sudah memberikan isyarat mengenai hak dan kedudukan Ali terhadap khilafah atau imamah sepeninggal beliau dalam banyak kesempatan dan dalam banyak pernyataan. Lebih dari itu bahkan beliau secara tegas dan lugas menyampaikan hal ini di sebuah tempat antara makkah dan Madinah sepulangnya beliau dari Haji Wada’. Lokasi tersebut bernama Ghadir Khum. Di lokasi Ghadir Khum inilah, dalam keyakinan pandangan Syi’ah , Rasulullah saw. beristirahat dan selanjutnya berpidato yang mana isi dari pidato beliau ini adalah memberikan wasiat kepada Ali bin Abi Tholib beserta anak cucunya untuk menjadi khalifah atau imam sepeninggal beliau secara turun temurun. Dikarenakan menganggap betapa sangat pentingnya peristiwa Ghadir Khum ini, para penganut Syi’ah menjadikannya sebagai hari raya yang selalu diperingati pada setiap tahunnya. Secara mutlak, Imamah bagi Syi’ah Itsna ‘Asyariah Ja’fariyah diyakini merupakan petunjuk nash, dalam hal ini nash al-Qur’an. Tentu saja dengan menggunakan sudut pandang versi mereka. Serta juga dengan menggunakan nash hadits yang jalur periwayatannya dibangun oleh mereka sendiri dengan melakukan penolakan terhadap riwayat dari kibar shahbat yang menurut mereka telah menghianati sahabat Ali karena tidak memilih beliau setelah wafatnya Rasul. Al-Bahrani, yang merupakan salah seorang mufassir dalam kalangan Syi’ah, dalam karya tafsirnya al-Burhan fi Tafsir al-Qur’an menafsirkan maksud dari QS. Al-Maidah: 55-56, yang menurutnya merupakan pernyataan tegas bahwa ayat ini turun untuk sahabat Ali ra. إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ {55} وَمَن يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ {56} “Sesungguhnya penolong kamu adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah) (55) Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang (56)” Dalam Syi’ah ayat ini diyakini sebagai sebuah pernyataan yang jelas terhadap kepemimpinan Ali sesudah wafatnya Rasulullah saw. Terlebih lagi dinyatakan oleh kalangan Syi’ah dalam versi mereka sendiri bahwa terdapat riwayat yang melatarbelakangi dari ayat ini, yaitu ketika seorang pengemis datang ke masjid melihat Ali ra. Sedang melakukan sholat, ia meminta kepadanya, dan pada saat itulah Ali ra. Memberikan sebentuk cincin kepada pengemis tersebut. Penggunaan redaksi dalam bentuk jamak (plural pada ayat di atas), oleh kalangan Syi’ah dinyatakan sebagai ayat yang ditujukan kepada Ali ra. Beserta para keturunannya kemudian hari. Dengan pemaknaan yang seperti ini maka artinya sama dengan tidak memberikan ruang bagi orang beriman selain keturunan Ali ra. Sendiri. Pada taraf selanjutnya menjadikan timbulnya kesan seolah imamah bahkan melebihi nubuwwah. Bahkan tidak sebagaimana yang terjadi pada tiga khalifah yang pertama, dimana sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman membutuhkan bai’at sebelum melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, malahan keturunan Ali ra. Yang belum lahir pun sudah diangkat sebagai imam dengan tidak membutuhkan bai’at. Dalam karya tafsir yang cukup terkenal lainnya, al-Mizan, yang merupakan karya monumental dari seorang ulama’ Syi’ah yaitu Sayyid Husain Thabathaba’i, dalam tafsirnya tersebut menyatakan juga bahwa maksud dari ayat di atas adalah menunjukkan kepada Imam Ali dan keturunannya (al-aimmah). c. Ketetapan-ketetapan syi’ah terhadap imamah 1. Para imam memiliki sifat ma’shum (terjaga dari berbagai kesalahan), mereka terbebas dari melakukan dosa baik semasa kecilnya maupun semasa dewasa, artinya sepanjang hidupnya para imam ini tidak pernah melakukan dosa baik itu dosa keci maupun dosa besar. Lebih dari itu dalam pandangan Syi’ah, para imam ini juga terlepas dari melakukan kesalahan atau pun lupa. 2. Setiap imam dititipi ilmu dari Rasulullah saw. untuk menyempurnakan syari’at Islam. Imam memiliki ilmu laduni. Serta tidak ada perbedaan antara imam dengan Rasulullah saw. Sedang yang membedakan adalah bahwasannya Rasulullah saw. mendapatkan wahyu. Rasulullah saw. telah menitipkan kepada mereka rahasia-rahasia syari’at Islam, agar mereka mampu memberikan penjelasan kepada manusia sesuai dengan kebutuhan zamannya. 3. Khawariqul ‘Adah (sesuatu yang luar biasa). Bahwa peristiwa yang luar biasa boleh terjadi pada diri imam, dan hal itu disebabkan oleh mu’jizat. Jika tidak ada satu teks tertulis dari imam sebelumnya, maka dalam kondisi seperti itu penentuan imam harus berlangsung dengan sesuatu yang luar biasa itu. 4. Raj’ah (muncul kembali). Diyakini oleh para pengikut Syi’ah bahwa Imam Hasan al-Askari akan datang kembali pada akhir zaman, ketika Allah mengutusnya untuk tampil kembali. Dalam keyakinan mereka, ketika sang imam kembali, ia akan memenuhi bumi dengan keadilan pada saat dunia ini sedang dilanda oleh kekejaman dan kedholiman. Dan ia akan mencari para lawan-lawan dari Syi’ah sepanjang sejarah. 5. Imamah dalam Syi’ah menempati posisi yang vital dalam hal keimanan. Dalam rukun iman Syi’ah yang jumlahnya ada lima, keimanan terhadap imamah menempati urutan ke empat sesudah iman kepada Allah, al-‘Adl (keadilan Allah), dan Nubuwwah (kenabian).

C. Imamah Dalam Bingkai Ahlus Sunnah

Membedai dari pemahaman dan keyakinan yang terdapat dalam Syi’ah, para ulama’ ahlus sunnah lebih menggunakan terma khilafah atau Imarah. Dan berpegangan bahwa menjelang wafatnya, Rasulullah tidaklah menunjuk langsung penggantinya. Serta keputusan siapa pemimpin kaum muslimin ada dalam musyawarah mereka sesuai dengan nash al-Qur’an: وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ “Dan (bagi) orang-orang yang beriman (mematuhi seruan Tuhannya) dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka.” فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِب الْمُتَوَكِّلِينُّ “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” Dua ayat di atas merupakan bagian dari sandaran yang dipakai dalam lingkungan ulama’ ahlussunnah wal jama’ah guna menyatakan bahwa kepemimpinan atau imamah itu sifatnya bukanlah dari penunjukan Rasul. Bahkan Rasul sendiri tidak pernah secara jelas dengan pasti menunjuk siapa yang meneruskan kepemimpinan selepas beliau wafat. Lebih jauh lagi hal ini dianggap menunjukkan bahwa mekanisme kepemimpinan dalam Islam kualifikasinya lebih diserahkan kepada forum permusyawarahan oleh umat Islam sendiri. a. Pengangkatan Imam dalam Perspektif Ulama’ Ahlus Sunnah Meskipun dalam beberapa hal ulama ahlus Sunnah tidak memiliki persamaan pandangan dalam menjelaskan metode-metode pengangkatan serta pelantikan imam, akan tetapi terdapat hal-hal pokok yang menjadi acuan dalam penentuan pengangkatan Imam atau khalifah, yang bisa ditarik garis benang merahnya. 1. Pengangkatan imam melalui forum ahlul halli wa al-‘aqdi. Di sini yang dimaksud dengan baiat ahlul halli wa al-‘aqdi adalah bahwa sekelompok pembesar dan tokoh masyarakat menerima imamah, kekhalifahan atau kepemimpinan seorang imam melalui baiat dan menunjukkan loyalitas praktis mereka untuk mentaatinya. Metode seperti ini tidak menentukan batas kuorum tertentu dalam jumlah pembaiat, dari hal inilah maka bila ada hanya salah seorang dari ahlul halli wa al-‘aqdi berbaiat kepada seseorang, maka dianggap sudah mencukupi untuk menetapkan keimamannya. 2. Dalam menetapkan prasyarat-prasyarat yang idealnya dimiliki oleh seorang pemimpin atau imam, terdapat beberapa hal yang telah ditetapkan terkait persoalan ini, pemimpin haruslah dari orang yang berilmu. Diantaranya ilmu agama setingkat Qodhi, ilmu peperangan guna membentengi rakyat, ilmu manajemen dan administrasi untuk mengatur umat. b. Beberapa pandangan ulama’ ahlus sunnah terhadap imamah Dalam menetapkan ketentuan yang mestinya dimiliki oleh seorang imam, berikut beberapa pernyataan dari ulama’ ahlus sunnah: 1. Al-Baqillani Al-baqillani menyebutkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai karakter-karakter tertentu yang layak dijadikan sebagai seorang pemimpin, diantaranya: 1. Pemimpin harus berilmu yang nantinya bisa dijadikan pegangan pada saat memimpin. Diantaranya ilmu agama setingkat Qadi, ilmu peperangan untuk membentengi rakyat, ilmu manajemen dan administrasi untuk mengatur umat. 2. Pemimpin harus punya keberanian dan ketahanan emosi untuk menegakkan hokum demi berjalannya keadilan dalam segala aspek. 3. Pemimpin tidak harus maksum (terjaga dari kesalahan), mengetahui hal-hal yang ghaib, dan tidak juga mereka yang paling berani. 4. Pemimpin haruslah yang terbaik (al-afdhol) diantara sekalian banyak orang yang ada. Namun, apabila terjadi ketidaksepakatan untuk memilih orang ini, maka boleh diambil dari yang terbaik yang memungkinkan (a-mafdhul). 2. Imam Mawardi Mensyaratkan seorang pemimpin memiliki kualifikasi sebagaimana berikut: 1. Memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk berijtihad 2. Adil dengan segala persyaratannya 3. Sehat pendengaran, penglihatan, lisan serta utuh anggota-anggota tubuhnya. 4. Memiliki wawasan yang baik untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum. 5. Memiliki keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan menghadapi musuh 6. Berasal dari keturunan Quraisy. 3. Abdul Qodim Zalllum Syarat yang ditetapkannya meliputi beberapa hal, yaitu: 1. Laki-laki 2. Muslim 3. Baligh 4. berakal 5. Merdeka Meskipun syarat-syarat yang dikemukakan para pemikir kepemimpinan Islam terdapat beberapa perbedaan, akan tetapi pada prinsipnya mengandung satu maksud yang tidak jauh berbeda. Keturunan Quraisy misalnya, pada dasarnya ini adalah merupakan sisi keutamaan saja. Artinya, secara kontekstual interpretative dapat dikatakan, bahwa kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya, melainkan pada kemampuannya.

D. Analisa Kepemimpinan, imamah atau kekhalifahan dalam Islam pada prinsipnya sudah ada sejak sepeninggal Rasulullah saw. Rujukan utama dalam menentukan kebijakan publik secara luas telah dijelaskan secara umum dalam al-Qur’an dan hadits. Namun, detil teknis pelaksanaan yang berkaitan dengan metode penggantian kepemimpinan masih memerlukan adanya analisa dan metode pendekatan yang dipakai untuk memaparkan ide kepemimpinan tersebut. Pembahasan mengenai konsep imamah dalam bingkai pemahaman Syi’ah, dimana disana disebutkan mengenai kriteria-kriteria tertentu mengandalkan dan bersandarkan pada beberapa hadits ahad yang berlawanan dengan kesepakatan para sahabat generasi awal untuk patuh kepada Abu Bakar ketika itu sebagai pemimpin sepeninggal Rasulullah saw. kegagalan mereka dalam mengajukan bukti-bukti hadits, sebagai gantinya, mereka mengajukan konsep taqiyah untuk berargumentasi terhadap metode pemilihan (ikhtiyar) sebagai jalan untuk memilih kepemimpinan mereka. Persyaratan seorang Imam dalam Syi’ah sangat tertutup hanya dalam lingkup khusus kalangan ahlul bayt dan juga harus secara terwasiat. Jadi kalangan lain di luar golongan yang sudah mereka tentukan dianggap tidak berhak untuk menduduki jabatan sebagai imam atau pemimpin bagi kaum muslimin.

E. Penutup

Persoalan imamah merupakan bahasan tersendiri dalam dunia pemikiran maupun ranah hukum dalam Islam yang telah banyak mendapat perhatian secara khusus dari para ulama’ Syi’ah maupun ahlus sunnah. Secara tertutup dalam paham Syi’ah ditetapkan hanya kalangan ahlul bayt versi mereka saja yang berhak menyandang predikat sebagai imam untuk kaum muslimin. Adapun di luar itu, maka mereka sama sekali tidak mengakuinya. Berbeda dengan kalangan Syi’ah, kalangan ahlus sunnah berdasarkan pada argumentasi dalil yang mereka miliki tidak mensyaratkan hal-hal yang telah ditetapkan dalam aqidah Syi’ah, akan tetapi lebih bertumpu pada kualifikasi kualitas diri seorang pemimpin itu sendiri, dimana hal ini lebih diserahkan kepada musyawarah umat serta aturan teknis pelaksanaannya masih mungkin dilaksanakan tidak hanya dengan menggunakan satu metode penetapan. menerapkan Membicarakan imamah lebih jauh, tentunya juga pada mulanya berangkat dulu dari konsep tentang pemerintahan dalam Islam. Dimana persolan ini pun tidak kalah sengitnya terjadi perdebatan panjang di antara para pemikir Islam dalam penetapan hukumnya meskipun secara jamak dapat ditemui jawaban tentang keharusan keberadaannya sebagai sebuah keniscayaan menjadi lantaran terlaksananya ajaran Islam secara sempurna.

DAFTAR PUSTAKA ‘Ali Muhammad Muhammad al-Shulabiy, Fikr al-Khawarij wa al-Syi’ah fi Mizan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Kairo: Iqro’, 2007) Abdul Qodir Zallum, Demokrasi Sistem Kufur, terj. Muhammad Shiddiq al-Jawi, (Depok: Pustaka Thoriqul ‘Izzah, 2001). Abu Bakar Ahmad ibn Ali al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt) Al-Maqashid Syarh Al-Maqashid, jilid 5. Galib ibn `Ali ‘Iwaji, Firaqun Mu`asirah tantasibu ila al-Islam, (Madinah: Dar Layyinah, 1998 M/1418 H), Jilid I. Imam Mawardi, al-Ahkam al-Shulthoniyah wa al-Wilayah al-diniyah, hal. 6. Irfan Zihd, Bunga Rampai Ajaran Syi’ah (Kumpulan Makalah Seminar Nasional Tentang Syi’ah), (Jakarta: LPPI, 2002) Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam “Islamia”, Vol. V, No. 2. Tahun 2009. Mohammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah dari Imamah sampai Mut’ah (Malang: Pustaka Bayan, 2004) Muhammad Husain adz Dzahabi, al-Ittijahat al-Munharifah fi Tafsir al Qur’an al Karim (terjemahan dengan judul: Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran Al Qur’an), (Jakarta: Rajawali, Cet II, 1991) Musa al-Musawi, Meluruskan Penyimpangan Syi’ah, terj, (Yogyakarta: Qalam, tt) Said Amin, Peristiwa Ghadir Khum Melahirkan Kebohongan Syi’ah Ahlul bait, (Bima: Mustika, 2001) Tim Penulis Buku Pustaka Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syi’ah dalam Ukhuwwah, (Sidogiri: Pustaka Sidogiri, 2007) Tim Ulin Nuha Ma’had Aly al-Nur, Dirasatul Firaq, Mengenal Madzhab Teologi Islam Klasik dan Aliran Sesat di Indonesia (Solo: Pustaka Arafah, 2010)

Tinggalkan komentar