Tunggangan

Ini dia tampilan tungganganku, yang satunya di pakai sama senior. Gak suka sih aku ama yang ini, jadi gak dipakai dulu.

 

 

 

 

 

 

 

Dan ternyata kabar barusan yg sampai di hp 3 menit lalu mengatakan udah laku dijual. Laku 6,5 dari belinya kemarin 6. Oke siap berburu yg lain…

Tulis!

Ada pemahaman baru, Tulis!

Ada hal yang kau tahu itu salah, tulis!

Ada kejadian yang tidak biasa, Tulis!

Ada ide brillian, Tulis!

Ada yang salah dengan ucapan sang dosen, Tulis!

Ada kritik terhadap diri sendiri dari orang lain, Tulis!

Terdapat perbedaan pendapat antara perintah dan kehendak bebas,Tulis!

Sedang tidak ingin menulis, Tulis!

Sedang malas menyentuh buku, Tulis!

merasa tidak suka dengan penyampaian materi oleh dosen, Tulis!

Mengerti akan hakikat dari sesuatu, Tulis!

Sedang dalam keadaan senang, Tulis!

Menunggu jemputan yang tidak datang-datang, Tulis!

Kesal dengan kebohongan-kebohongan dari operator telekomunikasi, Tulis!

Tahu terhadap jebakan-jebakan dari operator telekomunikasi terhadap pelanggannya sendiri, Tulis!

Lihat perempuan yang cantiknya luar biasa, Tulis!

Lihat teman melakukan tindakan bodoh yang sama sekali tidak perlu, Tulis!

Dikibuli sama teman dekat, Tulis!

Mendapat pertolongan dari orang yang tidak dikenal, Tulis!

Dikomentari miring sama orang, Tulis!

KETERKAITAN ISLAM DAN MATEMATIKA

 Sejarah perkembangan keilmuan dalam Islam sudah sedemikian lajunya, hal ini ditandai dengan banyaknya karya ilmuwan Muslim yang mengulas tentang keterkaitan erat antara Islam dan disiplin keilmuan yang selama ini dianggap berada di luar lingkup bahasan keilmuan Islam. Melalui para ilmuwan Islam, yang telah mencurahkan sedemikian banyak perhatiannya terhadap ilmu-ilmu yang sebelumnya tadi dianggap berada di luar garis batas ilmu Islam lah kita dapat mengetahui betapa demikian eratnya antara Islam dan keilmuan-keilmuan tersebut. Dalam daftar sejarah terdapat banyak nama cendekiawan muslim yang turut memberikan sumbangsih terhadap perkembangan keilmuan yang menjadi dasar dari pembentukan sebuah peradaban keilmuan. Dimana peradaban keilmuan itu sisi cakupannya bukan hanya berkutat pada apa yang biasanya dilabeli sebagai pembelajaran ilmu agama murni. Nama-nama seperti Jabir Abu Hayyan sebagai penemu ilmu kimia, Abu az-Zahrawi (mendapat julukan bapak bedah, dan dialah penemu Hemofilia), al-Razi (Rhazes) yang dikenal sebagai dokter pertama yang membidangi gangguan emosi dan mental atau Psikosomatis. Selanjutnya masih ada lagi seorang tokoh yang ahli dalam bidang biologi serta dia juga sebagai pengarang kitab an-Nabati wa al-Syujjar, serta masih banyak lagi kontribusi ilmuwan muslim yang menggeluti suatu bidang keilmuan yang menjadi penunjang majunya Islam dikala itu. Adapun mengenai Matematika dan astronomi, kedua disiplin ilmu ini pada permulaan dekade abad kesepuluh dapat disematkan kepada dua ahli matematika, kedua-duanya sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting. Pertama adalah Ibrahim Ibnu Sinan yang menulis tentang tanggapan terhadap Apollonius dan Almagest, kedua, adalah Abu Kamil yang menyempurnakan aljabar karya Khawarizmi. Sedangkan untuk yang lainnya, termasuk Ibnu Amamur, yang menyusun tabel astronomi, antara tahun 885 dan 993, dan al-Hamdani yang juga menyusun table astronomi. Juga selama abad ini al-Khawarizmi telah menghasilkan karya penting dalam aritmatika dan geometri. As-Saqani menulis tentang pembagian tiga sudut, Abul Fath membuat perbaikan Conis Apollonius dengan ulasan atas lima buku pertamanya; al-Khujandi membuktikan bahwa jumlah dua bilangan kubik tidak dapat menjadi satu bilangan kubik; Abdul Rahman as-Sufi membuat ilustrasi katalogus baru bintang-bintang; Abul A’lam membuat tabel astronomi baru; al-Saqani membuat alat-alat astronomi baru dan dibantu dalam waktu yang lama oleh al-Kuhli dan ahli astronomi Abul Wafa dalam pembangunan observatorium baru di Baghdad di bawah arahan Syaraf; dan al-Khujandi membuat observasi astronomi baru di kota Rayy (daerah dekat ibukota Teheran).
Baca lebih lanjut

Tip menghilangkan my recent document pada os windows

Pada sistem operasi windows, terdapat satu menu yang dapat mempermudah kita untuk kembali membuka beberapa file yang sebelumnya sudah pernah kita buka. Jadi ini merupakan suatu kemudahan untuk kita yang hendak kembali melanjutkan file apa yang sebelumnya kita jalankan sehingga kita tidak perlu lagi mencari file yang hendak kita buka tersebut pada lokasi tertentu dimana kita meletakkan file tersebut. Cukup dengan menjalankan recent document pada menu start windows dengan sangat mudah.

Namun di sisi lain jika kita tidak menghendaki file-file yang sudah kita buka tersebut dapat diakses dengan mudah, mungkin dengan alasan agar tidak diakses oleh pengguna selain kita, maka ada solusi untuk keinginan tersebut, yaitu menghilangkan recent document dari tampilan menu windows. Sebagai gambaran, langkah ini telah sukses dijalankan pada windows xp pack3. Adapun langkah yang harus kita jalankan adalah sebagi berikut:

1. Klik menu START pada windows (terletak di bagian paling bawah kiri)

2. Pilih menu RUN

Baca lebih lanjut

Jelang Ramadhan 2011

Seperti yang sudah biasa berlangsung selama ini, bulan ramadhan punya arti dan nilai dalam masing-masing hati dan pikiran umat Islam di indonesia bahkan untuk seluruh dunia. Kedatangannya dinantikan karena ada banyak keistimewaan di dalamnya. Nilai ibadah di luar bulan ramadhan memiliki bobot yang berbeda dengan ibadah yang dilakukan pada bulan ramadhan, bahkan pada bulan ramadhan ini akan berlipat-lipat nilainya. keistimewaan yang lain dan ini adalah merupakan keistimewaan yang sangat luar biasa karena di dalam bulan ramadhan terdapat satu malam yang disebut sebagai lailatul qadar, dimana malam ini sangat dinanti dengan sungguh-sungguh oleh umat muslim dengan semakin meningkatkan ibadahnya pada bulan ramadhan. Mengingat lailatul qadar ini nilainya adalah lebih khoir daripada seribu bulan. Tentu saja meraihnya tidaklah mudah, yang dimaksud dengan tidak mudah di sini adalah bahwa penjelasan tentang lailatul qadar ini sudah sangat jelas disebutkan ad pada salah satu malam di bulan ramadhan, akan tetapi pada malam yang keberapanya itu yang belum ada penunjukannya, karena bersifat rahasia dan sudah disebutkan tanda-tandanya. Dengan demikian tentunya malam ini adalah teruntuk orang istimewa yang dapat melaluinya dalam keadaan mendekatkan diri kepada Rabb nya. Sedangkan bagi yang melewati lailatul qadar ini dalam keadaan tidak mendekatkan diri kepada Allah, atau bahkan melakukan hal yang sebaliknya, yaitu melakukan maksiat, maka sungguh sebuah kerugian yang tak terkira baginya. Na’udzubillahi min dzalika. tentunya kita tidak berharap hal yang demikian terjadi pada diri kita.

Menjalankan puasa

Amalan pembeda antara ramadhan dan bulan selainnya adalah terdapatnya ibadah puasa, dimana kaum muslimin yang sudah memenuhi syarat melaksanakannya, mesti melaksanakan ibadah yang satu ini karena hukumnya memang wajib sebagaimana sudah disebutkan dalam al-Qur’an.   Kategori dari ibadah puasa ramadhan ini adalah fardhu ‘ain artinya ibadah ini bersifat kewajiban personal yang tidak bisa gugur dengan adanya orang lain yang sudah melaksanakannya. Secara definitif, amalan ibadah puasa ini adalah menahan makan dan minum dan segala hal yang dapat membatalkan puasa dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Mengingat ibadah puasa ini membutuhkan ketahanan fisik, maka alangkah baiknya jika jauh hari sebelum datangnya ramadhan kita mempersiapkan kesehatan agar ketika datang waktunya, kita sudah siap untuk menjalankannya.

Amalan ibadah puasa ini pada dasarnya sudah diwajibkan kepada umat-umat sebelum kita umat nabi Muhammad. Artinya ibadah puasa ini bukanlah merupakan hal baru yang disyari’atkan kepad nabi Muhammad dan umatnya saja. Akan tetapi pada nabi-nabi terdahulu pun abadah ini sudah ada. Jadi umat nabi isa, musa, dan Nabi-nabi lain yang sangat banyak jumlahnya itu juga melaksanakan ibadah puasa sebagaimana kita sekarang melaksanakannya. Meskipun tidak terdapat informasi yang sangat jelas yang menyebutkan bagaimana umat terdahulu itu melaksanakannya, dimana persamaannya dengan puasa yang kita jalani, dimana pula bedanya dengan puasa yang kita sebagai umat Nabi muhammad juga menjalaninya. Dan hal itu tidaklah perlu mendapat perhatian yang sangat besar (tentang bagaimana amalan puasa umat sebelum kita) mengingat kita sebagai umat Nabi Muhammad sekarang telah mendapatkan paket ajaran agama yang lengkap dalam hal pelaksanaannya.

Hikmah puasa

di samping sebagai sebuah ibadah yang memang harus dilaksanakan oleh sekalian umat muslim, ibadah puasa mempunyai hikmah lain bagi kita. Diantaranya adalah hikmah dari sisi sosial. Dengan melaksanakan ibadah puasa ini, fisik kita diuji dengan merasakan keadaan haus dan juga lapar. Dimana sebelumnya pada bulan yang lain kita bisa sewaktu-waktu merasakan makan dan minum sekehendak kita, maka dalam puasa ramadhan ini, keadaan seperti itu tidak bisa terjadi. Kita harus mentaati aturan untuk tidak melakukan makan dan minum selama beberapa waktu yang sudah ditentukan. Tentu saja bagi yang tidak mempunyai kebiasaan puasa sunnah di luar bulan ramadhan, hal ini akan tersa sangat berat karena sebelumnya mereka belum teruji atau dengan bahsa lain tiak latihan sebelumnya. Jadi mungkin fisiknya merasa kaget dengan keadaan yang tiba-tiba. Nah dari hal yang demikian inilah (menahan lapar dan haus) kita akan bisa mulai bersimpati atau bahkan berempati kepada orang lain yang mengalami kekurangan dalam kebutuhan hidupnya, terutama pada orang lain yang untuk makan sehari-hari saja mungkin ia kesulitan memperolehnya. Kita bisa turut merasakan keadaan seperti itu sehingga dalam hati kecil kita akan semakin tumbuh rasa keinginan untuk berbagi kepada pihak lain yang mungkin tidak seberuntung kita. Dan kita dapat bersyukur dengan keadaan kita selama ini yang walaupun dengan berbagai kekurangannya, tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar kita.

Mengingat rasa syukur adalah hal yang sangat penting dimiliki oleh manusia sebagai perwujudan  dari adanya dia sebagai manusia yang dikaruniai banyak karunia oleh Allah Subhanu Wata’ala.  Dan juga mengingat janji Allah apabila manusia bersyukur, maka akan semakin diberi tambah lah nikmatnya. Dan sebaliknya apabila di kufur, maka akan semakin dikurangi lah nikmatnya.

Shalat tarawih

Shalat yang satu ini juga merupakan ibadah yang khusus ada pada bulan ramadhan, dan dengan demikian tentu saja rugi rasanya kalau kita tidak berlomba-lomba melaksanakannya dengan sebaik mungkin, dan juga sesempurna mungkin. Sebagaimana secara umum banyak diketahui, apabila Ramadhan tiba, maka masjid dan musholla kuota pengunjungnya akan jauh berbeda dengan bulan selainnya, meskipun juga yang sering terjadi adalah penuh di hari-hari pertama saja dan kembali sedikit pada hari-hari sesudahnya.

catatan kaki dalam wordpress

Catatan kaki / footnote1) biasanya dicetak dengan huruf lebih kecil daripada huruf di dalam teks guna menambahkan rujukan uraian di dalam naskah pokok.

Untuk membuat catatan kaki / footnote pada blog wordpress yang perlu di kita perhatikan adalah dalam pembuatan :

Superscript dan Subscript

Untuk membuat footnote, biasanya angka yang merujuk pada catatan kaki dibuat menjadi Superscript. Untuk membuat superscript, gunakan kode di bawah ini:

superscript

Untuk membuat Subscript sebagai ganti Superscript, untuk membuat subscript gunakan kode di bawah ini:

subscript

Footnote

Untuk membuat link pada tulisan ke catatan kaki di bawah, gunakan kode di bawah ini:

[CATATAN KAKI]

di mana X bisa diganti dengan kata-kata sendiri, [CATATAN KAKI] bisa diganti dengan angka (1, 2, 3, dan seterusnya) atau huruf (a, b, c, dan seterusnya) sesuai penomoran catatan kaki. Kodejuga bisa diganti denganbila menginginkan bentuk subscript.

Kemudian untuk membuat link balik dari catatan kaki ke tulisan di atas, gunakan kode di bawah ini:

[KEMBALI KE ATAS]

di mana kata [KEMBALI KE ATAS] bisa diganti dengan angka atau huruf sesuai penomoran catatan kaki, dan setelah kodekita bisa menulis penjelasan catatan kaki tersebut. Atau Anda juga bisa menggunakan superscript untuk angka pada catatan kaki di bawah. Untuk itu hanya perlu menambahkan kodeatauseperti contoh di bawah ini:

[KEMBALI KE ATAS]

Keterangan

Ini catatan kaki dengan penomoran angka 1, 2, 3, dan seterusnya. Caranya mudah, ganti tulisan [CATATAN KAKI] dan [KEMBALI KE ATAS] pada dua kode di atas dengan angka, 1, 2, 3, dan seterusnya.

Ketika membuat catatan kaki, gunakan editor pada mode HTML View, jika kita membuatnya pada Visual View, kode bisa rusak dan tidak bekerja

TAFSIR SUFI

I. PENDAHULUAN
Perkembangan sufisme yang kian marak di dunia Islam ditandai oleh praktik-praktik asketisme dan askapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam. Hal ini dimulai sejak munculnya konflik politis sepeninggal nabi Muhammad SAW. Praktik seperti terus berkembang pada masa berikutnya.
Seiring berkembangnya aliran sufi. Merekapun menafsirkan alqur’an sesuai dengan faham sufi yang mereka anut. Pada umumnya kaum sufi memahami ayat-ayat alqur’an bukan sekedar dari lahir yang tersurat saja. Namun mereka memahaminya secara bathin atau yang tersirat.

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Shufi
Tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi. Sesuai dengan pembagian dalam dunia tasawwuf tafsir ini juga dibagi menjadi dua yaitu tafsir yang sejalan dengan tashawwuf an Nazhari disebut Tafsir al Shufi al Nazhri, dan yang sejalan dengan tashawwuf amali disebut tafsir al faidhi atau tafsur al isyari.
B. Sejarah lahirnya Tafsir Shufi
Para sufi umumnya berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
لِكُلِّ ايَةٍ ظَهْرٌ وَبَطْنٌ وَلِكُلِّ حَرْفٍ حَدٌّ وَلِكُلِّ حَدٍّ مَطْلَعٌ
“Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya.”
Hadits di atas, adalah merupakan dalil yang digunakan para sufi untukmenjustifikasi tafsir mereka yang eksentrik. Menurut mereka di balik makna zahir, dalam redaksi teks Al-Qur’an tersimpan makna batin. Mereka menganggap penting makna batin ini. Nashiruddin Khasru misalnya, mengibaratkan makna zahir seperti badan, sedang makna batin seperti ruh; badan tanpa ruh adalah substansi yang mati. Tidak heran bila para sufi berupaya mengungkap makna-makna batin dalam teks Al-Qur’an. Mereka mengklaim bahwa penafsiran seperti itu bukanlah unsur asing (Gharib), melainkan sesuatu yang inheren dengan Al-Qur’an.
Tafsir sufi menjadi eksentrik karena hanya bisa ditolak atau
diterima, tanpa bisa dipertanyakan. Tafsir tersebut tidak bisa menjawab
dua pertanyaan; mengapa dan bagaimana? Misalnya, ketika al-Ghazali
menafsirkan potongan ayat (QS:20;12) ( فَاخْلَعْ نَعْلَيْلَكَ ) yang secara zahir “tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”. Menurut al-Ghazali makna batin dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa) kedua alammu, baik alam dunia mupun akhirat. Yakni, janganlah engkau memikirkan keuntungan duniawi dan jangan pula mencari pahala ukhrawi, tai carilah wajah Allah semata”. Kita boleh setuju atau tidak dengan penafsiran seperti ini. Tapi kita tidak akan memperoleh penjelasan yang memadai tentang mengapa penafsirannya seperti ini? Dan bagaimana al-Ghazali bisa sampai pada penafsiran yang seperti ini? Kita hanya bisa menerima atau menolaknya, tanpa bisa mempertanyakan penalaran di balik penafsiran tersebut.
Tidak ada penalaran yang jelas yang menghubungkan antara
nash Al-Qur’an dengan tafsir batin yang dikemukakan oleh para sufi
kecuali para sufi iut melihat nash Al-Qur’an sebagai isyarat bagi makna batin tertentu. Karena itu, tafsir sufi juga sering disebut dengan tafsir isyari , yang pengertiannya menurut versi Al-Zarqani adalah “menafsirkan Al-Qur’an tidak dengan makna zahir, melainkan dengan makna batin, karena ada isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi. Namun demikian tafsir batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan makna zahirnya.
Jadi, isyarat-isyarat Al-Qur’anlah yang direnungkan oleh para
sufi, sehingga mereka sampai pada makna batin Al-Qur’an. Dan
disinilah letak masalahnya, karena isyarat sangat rentan untuk disalah-
tafsirkan atau disalahgunakan. Misalnya, penyalahgunaan yang
dilakukan oleh kaum Bathiniyah. Dengan dalih bahwa di balik makna
zahir Al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka mengembangkan tafsir batin yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran mereka sendiri. Misalnya saja ketika mereka menafsirkan surat al-Hijr ayat 99 (QS.15:99) ( وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَى يَاْتِيَكَ الْيَقِيْنُ ) . Menurut pendapat jumhur, ayat itu berarti “sembahlah Tuhanmu sampai ajal tiba”. Namun kaum Bathiniyah mengembangkan penafsiran sendiri. Menurut mereka makna ayat itu adalah “barangsiapa telah mengerti makna ibadah, maka gugurlah kewajiban bagnya”.
Jelas bias kesektariannya sangatlah kental dalam tafsir kaum bathiniyah. Dan para sufi mencela penafsiran seperti itu. Walaupun mereka juga menggali tafsir batin Al-Qur’an, namun para sufi merasa bahwa tafsir mereka tidaklah sama dengan tafsir kaum Bathiniyah; Pertama karena penafsiran mereka diperoleh mengalau kasyaf. Kedua, karena mereka tidak mengabaikan makna zahir Al-Qur’an sebagaimana yang dilakukan kaum Bathiniyah. Namun demikian, apakah betul karena itu, yakni karena berbeda dengan kaum Bathiniyah, sehingga tafsir sufi steril dari bias sectarian? Masalah ini perlu dielaborasi lebih lanjut.

C. Sekilas tentang Sufisme
Untuk dapat mengetahui serta mengelaborasi corak serta bias sectarian dalam tafsir sufi. Perlu kiranya dipaparkan terlebih dahulu penjelasan singkat tentang sufisme. Karena, tafsir sufi pada dasarnya adalah tafsir yang dikemukakan oleh para sufi, dan para sufi menjadi sufi karena sufisme.
Sufisme atau tasawuf adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari cara dan jalan tentang bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhannya. Intisari dari Sufisme adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Allah SWT dengan mengasingkan diri dan berkontempelasi. Sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan dengan Tuhan, sehingga seseorang sadar betul baha ia berada di hadirat Tuhan.
Ada banyak variasi cara dan jalan yang diperkenalkan para
ahli sufisme untuk memperoleh tujuan tersebut. Mereka menyebutnya dengan istilah maqamat, yaitu stasiun-stasiun yang harus dijalani para sufi untuk sampai ke tujuan mereka. Dari sekian banyak versi maqamat, yang biasa disebut ialah: tobat-zuhud-sabar-tawakkal-ridha. Kelima stasiun itu harus ditempuh secara bertahap. Untuk berpindah dari satu stasiun ke stasiun berikutnya diperlukan waktu dan usaha yang tidak sedikit. Terkadang seorang sufi harus menyelami satu stasiun selama bertahan-tahun sebelum akhirnya ia merasa mantap dan dapat berpindah ke stasiun berikutnya.
Mengenai bentuk hubungan dengan Allah SWT, yang menjadi tujuan para sufi, ada dua buah pendapat utama; monoisme dan dualisme. Para penganut aliran monoisme berpendapat baha tahap puncak hubungan seorang sufi dengan Tuhan bersifat manunggal/ monolitik, hubungan ini dapat mengambil bentuk hulul, ittihad atau wihdat al-wujud. Para penganut aliran dualisme berpendapat bahwa hubungan seorang sufi dengan Tuhan bersifat dulistik. Seorang sufi bisa jadi akan sangat dekat dengan Tuhan, sehingga tidak ada lagi dinding pemisah antara dia dengan Tuhan, namun dia tetaplah dia dan Tuhan tetaplah Tuhan. Bagi aliran dualisme, puncak hubungan seorang sufi dengan Tuhannya adalah al-Qurb (kedekatan).
Untuk menguraikan jalan dan tujuan sufisme ini, para ahli tasawwuf menempuh dua jalan yang berbeda. Ada yang menggunakan Al-Qur’an dan al-Hadits, dan ada pula yang menggunakan filsafat. Penganut aliran dualisme umumnya menggunakan yang pertama, karena itu aliran ini biasanya disebut tasawwuf sunni. Sedangkan penganut aliran monoisme umumnya menggunakan yang kedua, karena itu aliran ini biasanya disebut tasawwuf filosofi.
Mahmud Basuni Faudah, menyebut kedua macam aliran tasawwuf tersebut dengan isitilah tasawwuf teoritis dan tasawwuf praktis. Tasawwuf teoritis adalah tasawwuf yang didasarkan pada pengamatan, pembahasan dan pengkajian, dan karena itu mereka menggunakan filsafat sebagai saranya. Sedangkan tasawwuf praktis adalah tasawwuf yang didasarkan pada kezuhudan dan asktisme, yakni banyak berzikir dan latihan-latihan keruhanian. Menurut Faudah, para penganut kedua aliran ini mendekati Al-Qur’an dengan cara yang berbeda. Karena itu, produk penafsirannya pun relative berbeda. Ia membedakan keduanya dengan istilah tafsir sufi nazhari dan tafsir dan tafsir sufi isyari. Tafsir sufi Nazhari adalah produk sufi teoritis seperti Ibn ‘Arabi. Sedangkan tafsir sufi Isyari adalah produk sufi praktis seperti Imam al-Naysaburi, al-Tustari, dan Abu Abdurrahman al-Sulami.
Sangatlah menarik untuk membandingkan lebih jauh tentang sufi Nazhari dengan tafsir sufi Isyari ini. Hal ini, mengingat masing-masing memiliki karakter tersendiri. Tafsir sufi Nazhari adalah produk sufi nota bene membangun ajaran sufisme di atas landasan filsafat. Karena itu, sangatlah mungkin ada bias filsafat di dalam tafsir aliran tersebut. Sedangkan tafsir sufi isyari adalah produk para sufi menganut teologi Asy’ariyah, sehingga besar kemungkinan ada bias Asy’ariyah di dalam tafsir tersebut. Dan sebagaimana yang akan ditunjukkan oleh makalah ini, asumsi-asumsi tersebut terbukti benar.

D Bias Filsafat dalam Tafsir sufi Nazhari
Upaya untuk menemukan bias filsafat dalam tafsir sufi Nazhari, telah dilakukan oleh Mahmud Basuni Faudah. Ia berhasil menunjukkan beberapa penafsiran Ibn ‘arabi yang menjadi bukti bahwa tafsir batin yang dikemukakannya mengandung bias filsafat. Ibn ‘arabi sendiri adalah seorang sufi yang sangat terpengaruh oleh pandangan wihdah al-wujud dan filsafat emanasi.
Bias filsafat terlihat ketika Ibn ‘Arabi menafsirkan surat Maryam ayat 57 (QS.19:57) ( وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًا ) yang secara zahir berarti: “Dan Kami angkat martabatnya (Idris a.s.) ke tempat yang tinggi”. Menurut Ibnu ‘Arabi, tempat yang tinggi adalah tempat beredarnya ruh, alam, dan falak-falak (benda-benda langit) yaitu falak matahari. Disitulah kedudukan ruhani nabi Idris a.s. Di baahnya terdapat tujuh falak dan di atasnya juga tujuh falak. Tujuh falak yang ada di atas falak Idris as. Adalah tempatnya umat Muhammad saw. Penafsiran seperti ini jelas dipengaruhi oleh filsafat emanasi yang mengajarkan bahwa alam ini terjadi dari pancaran akal pertama yang kemudian membentuk falak-falak yang bertingkat-tingkat.
Bias faham wihdah al-wujud terlihat ketika Ibn ‘arabi menafsirkan surat al-Nisa ayat 1 (QS.4:1) (يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ) . Secara sahir, ayat tersebut berarti “Wahai sekalian manusia bertaqwalah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu diri (jenis)”. Ibn ‘Arabi menafsirkan ayat ini dengan penafsiran sebagai berikut: “Bertaqwalah kepada Tuhanmu. Jadikanlah bagian yang zhahir dari dirimu sebagai penjaga bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian batinmu yang adalah Tuhanmu itu, sebagai penjaga bagi dirimu. Karena perkaranya adalah perkara celaan dan pujian. Maka jadilah kalian pemelihara-Nya dalam celaan, dan jadikanlah Dia pemelihara kalian dalam pujian, niscaya kalian akan menjadi orang-orang yang paling beradan di seluruh alam”. Penafsiran seperti ini jelas dipengaruhi oleh faham wihdah al-wujud yang memandang alam ini sebagai pengejawantahan (ego apresiasi) dari ego potensial yang merupakan Dzat Tuhan yang hakiki.

E. Bias Asy’ariyah dalam Tafsir sufi Isyari
Di samping pengaruh-pengaruh di atas, dalam kitab-kitab tafsir sufi Isyari, bias sectarian juga nampak terlihat. Tafsir-tafsir tersebut umumnya membela teologi Asy’ariyah. Muhammad Husayn al-Zahabi misalnya, menyebutkan secara gamblang dalam bukunya, al-Tafsir wa al-Mufasirun, bahwa al-Naysaburi ketika menafsirkan Al-Qur’an, banyak menceburkan diri dalam perdebatan teologi sebagai pembela Asy’ariyah. Al-Zahabi mencontohkan penafsiran al-Naysaburi atas surat al-An’am ayat 25 (QS. 6:25) yaitu :
( وَجَعَلْنَا عَلىَ قُلُوبِهِمْ اَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوْهُ ). Ayat tersebut artinya: “Dan Kami jadikan atas hati mereka penutup untuk memahaminya”. Menurut al-Nasaburi, ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT memalingkan iman dan menengahi antara seorang hamba dengan hatinya. Kaum Mu’tazlah berupaya memalingkan ayat ini dari makaha zaharnya, karena tidak sesuai dengan akidah mereka. Lalu al-Naysaburi memaparkan argumen-argumen yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah. Setelah itu, ia mematahkan satu persatu, sambil membela kaum Asy’ariyah.
Contoh lain, dapat dikemukakan dalam tafsir Ruh al-Ma’ani, karya al-alusi. Al-alusi menolak pendapat Mu’tazilah dan mempertahankan Asy’ariyah, ketika ia menafsirkan surat al Kahfi ayat 29 QS. 18:29) : ( فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ) yang berarti “Barangsiapa yang ingin beriman, beirmanlah dan barangsiapa yang ingin kafir, kafirlah!”. Menurut al-Alusi, ayat ini tidak menunjukkan adanya free will dan free act sebagaimana yang diklaim oleh kaum Mu’tazilah. Hal ini, karena free will dan free act bertentangan dengan dua hal; Pertama, bila untuk berbuat manusia perlu berkehendak, maka untuk membuat kehendak manusia juga perlu berkehendak, begitu seterusnya, sehingga akan terjadi proses teologis yang tidak ada ujung pangkalnya. Kedua, Allah SWT telah berfirman dalam surat al-Insan ayat 30 (QS. 76:30)
(وَمَاتَشَاؤُونَ إِلاَّ أنْ يَشَاءَ اللهُ ). Ayat ini jelas menunjukkan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Demikianlah menurut al-Alusi.

F. Kitab-kitab Tafsir Shufi
1.Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tutsuri (w.283 H)
2.Haqa’iq At-Tafsir, karya Al-Allamah As-Sulami (w.412 H)
3.Arais Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Qur’an, karya Imam As-Syirazi (w.606 H).

III. KESIMPULAN
1. Tafsir shufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi yang mereka lebih mementingkan bathinnya lafal daripada lahirnya.
2. Dalam tafsir shufi terdapat dua corak tafsir, yaitu; tafsir sufi nazhari dan tafsir sufi isy’ari.
3. Tafsir sufi nazhari adalah tafsir produk sufi teoritis, sedangkan tafsir sufi isyari adalah tafsir produk sufi praktis.
4. Tafsir sufi seharusnya steril dari dimensi sektarianisme, karena ia diklaim bersumber dari Tuhan yang adalah sumber dari segala kebenaran.

DAFTAR PUSTAKA

Al-alusi, Abu al-Fadl Mahmud, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al’Azim wa
Sab’I al-Masani, (Beirut: Dar Ihya Turas al-‘Arabi, t.th)

Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-tafsir Al-quran Perkenalan dengan Metode Tafsir, (Bandung Penerbit Pustaka, 1987)

Al-Ghazali, Abi Hamid Muhamamd bin Muhammad, Ihya ‘Ulul Al-Din, (Beirut;
Dar Ihya Turas Al-‘Arabi)

Iyazi, Muhammad Ali, al-Mufasirun ayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Mu’assasah Tiba’iyah Nasyr Wizarah Al-Tsaqafah Al-Islamiyah, 1415 H).

Nasution Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1999)

Solihn, M. Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasawuf,
(Bandung: pustaka Setia, 2003)

Al-Suyuti, Jalaludin, Al-Itqan fil ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1951)

Al-Surbasi, ahmad, Qissah Al-Tafsir, (Beirut: Dar Al-Jayl, 1988)

Al-Taftazani, Abu Al-Wafa Al-Ghanami, sufi dari Zaman ke Zaman
, (Bandung; Penerbit Pustaka, 1997)

Thabathaba’I, Alammah M.H., Islam Syiah Asal Usul dan Perkembangan,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993)

Al-Zarqani, Muhammad Abd Al-Azim, Manabil Al-Irfan fi Al-‘Ulum Al-Qur’an,
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1986)

Al-Dzahabi, Muhammad Huseyn, al-Tafsir wa Mufassirun, (Kairo:
Mu’assasah at-Tariqh al-‘arabiyah, 1396H/ 1976 M) juz II cet. II h.104

Prof. Dr. Moh Quraish Shihab. At all. 2001, Sejarah & Ulum al qur’an, Pustaka Firdaus: Jakarta ,halaman 180
Ahmad al-Syurbasi, Qishashah al-Tafsir (Beirut: Dar-al0Jayl, 1988), h. 89
Ibid h.96
Ada yang menyamakan kedua istilah tersebut dan ada pula yang membedakannya. Al-Zarqani berpendapat bahwa kedua istilah itu sama, yaitu menunjuk pada tafsir yang dikemukakan oleh kaum sufi. Sementara ‘Ali Iyazi membedakan keduanya berdeasarkan tingkat apresiasinya terhadap makna zahir Al-Qur’an. Tafsir yang hanya mementingkan makna-makna batin Al-Qur’an dan mengabaikan makna zahirnya adalah tafsir sufi. Sedangkan tafsir yang menggali makna-makna batin Al-Qur’an tanpa mengabaikan makna zahirnya adalah tafsir isyari. Namun pendapat ini tidak popular. Lihat: Muhammad Abd l-Azim al-Zarqani, Manabil al-Irfan fi al-‘Ulul al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), V.2 h.79 Muhammad ‘ali Iyazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Mu’assash al-Tiba’iyah wa Nasyr Wizarah al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1415 H). h.57-61.
Bathiniyah adalah salah satu sekte (aliran) Syi’ah ‘Ismailiyyah; yaitu mereka yang mengklaim bahwa setelah Ja’far al-Shadiq Imamah jatuh ke tangan anak sulungnya yang bernama Ismail. Ciri utama ajaran Bathiniyah ini adalah menafsirkan aspek lahir ajaran Islam secara batin dan menganggap bahwa segi-segi lahir syar’iy hanya untuk orang-orang awam yang tidak sempurna rohaniya. Sedangkan bagi mereka yang cerdas dan sempurna rohaninya, ritual ibadahnya tidak lagi penting. Lihat: Allamah M.H. Thabaththaba’I, Islam Syi’ah asal Usul dan Perkembangannya, (Jakarta, Pustaka Utama Graffiti, 1993), h.82-86.
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur’an Perkenalan dengan Metode Tafsir, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1987). H.222
Kassyaf secara etimologi berarti terbukanya tirai. Kasysyaf adalah tersingkapnya tabir pemahaman seseorang, seakan-akan dia melihat dengan mata kepala sendiri, walaupun pada hakikatnya ia melihat dengan mata batin. Kasysyaf adalah terbukanya rahasia-rahasia pengetahuan yang hakiki. Kasysyaf adalah suatu keadaan yang bersifat individual, untuk pribadi-pribadi yang dikehendaki Allah. Kasysyaf baru diperoleh setelah seseorang betul-betul bertaqwa dan selalu mawas diri. Al-ghazali sering menyebutkan bahwa kasysyaf adalah epistemology pengetahuan yang tertinggi karena kasysyaf berarti terbukanya cahaya-cahaya atau informasi-informasi gaib ke dalam jiwa manusia. Lihat: M. Solihin, Tasawuf Tematik Membedalh Tema-tema Penting Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2003) h.59-61
Ada beberapa teori yang berkembang seputar asal-usul kata sufi, sufisme dan tasawwuf. Menurut teori-teori tersebut kata sufi, sufisme dan tasawwuf berasal dari: (1) ahl al-Suffal, yaitu para sahabat yang menjadi miskin karena hijrah dan tidur di Masjid Nabawi dengan berbantalkan al-Suffah (pelana), (2) shaf, yaitu barisan pertama dalam shalat berjamaah, (3) Shafa, yang berarti suci, (4) Sophos, kata Yunani yang berarti hikmat, dan (5) Shuf, kain wil kasar yang biasa dipakai para sufi. Diantara kelima teori di atas, teori terakhirlah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Lihat: Harun Nasution, Filsafat dan Mitissme dalam Islam, (Jakarta: Bulan-Bintang, 1999), h.54-55.
Ittihad adalah suatu model hubungan di mana sorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan dimana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata: “Hai aku”. Sedangkan hulul secara etimologi berarti menempati. Artinya Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yang telah lenyap sifat kemanusiaannya. Adapaun wihdah al-wujud berarti kesatuan wujud. Ini berarti seluruh yang ada walaupun kelihatannya banyak namun hakikatnya adalah satu yaitu bayangan Tuhan. Seandainya Tuhan yang menjadi sumber bayang-bayang tidak ada, maka yang lain pun tidak ada. Jadi yang sebenarnya memiliki wujud adalah Tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanyalah satu wujud, yaitu wujud Tuhan, sedangkan yang lain hanya merupakan bayang-bayang.
Klasifikasi ini digagas antara lain oleh Abu al-Wafa al-Ghanimi. Menurutnya, tasawwuf sunni adalah tasawwuf yang para pengikutnya memagari tasawwuf mereka dengan Al-Qur’an dan al-sunnah, serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya. Sedangkan tasawwuf filosofi adalah tasawwuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Berbeda dengan tasawwuf sunni, ajaran tasawwuf filosofis menggunakan terminology filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat, yang telah mempengaruhi tokoh-tokohnya. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), h.140 dan 187.
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur’an Perkenalan dengan Metode Tafsir.
Berdasarkan survey yang dilakukan penulis atas biografi para mufassir Sufi dalam buku al-Mufassrun Hayatuhum wa Manhajum karya ‘ali Iyazi, menunjukkan bahwa seluruh mufassir sufi menganut teologi Asy’ariyah. Belum ditemukan alasan yang memadai untuk menjelaskan fenomena ini. Tesis sementara yang mungkin dapat diajukan adalah adanya kecocokan antara ajaran-ajaran tasawwuf dengan teologi Asy’ariyah yang cenderung fatalistic, sementara teologi lain seperti Mu’tazilah tidak memberikan landasan teologi yang kompatibel dengan ajaran-ajaran tasawwuf karena cenderung menghargai free will.
Tafsir-Tafsir Al-Qur’an Perjalanan dengan Metode Tafsir
Muhammad Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-mufassirun, (Kairo: Mu’assasah al-Tarikh al-‘arabiyah, 1396 H/1976 M.) Juz II, cet. II, h. 104
Abu al Fadl Mahmud al-alusi, Ruh al-Ma’am fi Tafsir al-Qur’an ‘Azim wa Sab’I al-Matsani, (Beirut, Dar Ihya al-Turats al’arabi, t.th) v.15 h.266